Khasiat dan penggunaan obat anti hipertensi
Penggunaan Antihipertensi Penghambat Enzim Pengubah Angiotensin pada Nefropati Diabetik
Diabetes
Melitus (DM), atau yang dikenal sebagai penyakit kencing manis,
merupakan sekumpulan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula dalam
darah sehingga kadarnya melebihi normal) serta dapat mengakibatkan
komplikasi kronis termasuk mikrovaskular dan makrovaskular. Seseorang
dikatakan menderita penyakit DM jika dalam pemeriksaan kadar gula darah
puasa menunjukkan kadar gula darah lebih dari atau sama dengan 126
mg/dl, atau tes toleransi kadar gula dalam darah setelah 2 jam pemasukan
glukosa secara oral lebih dari atau sama dengan 200 mg/dl, atau kadar
glukosa dalam plasma sewaktu lebih dari atau sama dengan 200 mg/dl
dengan gejala-gejala DM seperti merasa cepat lapar, rasa haus yang
berlebihan, dan sering buang air kecil. Jika DM tidak ditangani dan
diobati dengan baik maka akan dapat menimbulkan komplikasi pada mata,
ginjal, atau pada saraf, dan dapat menyebabkan amputasi pada kaki.
Komplikasi yang terjadi pada ginjal disebut dengan nefropati diabetik.
Nefropati
diabetik merupakan suatu komplikasi penyakit DM yang termasuk dalam
komplikasi mikrovaskular, yaitu komplikasi yang terjadi pada pembuluh
darah yang lebih halus (kecil). Hal ini dikarenakan komplikasi ini
terjadi pada ginjal, di mana pembuluh darah pada organ tersebut
merupakan pembuluh darah yang halus. Nefropati diabetik timbul utamanya
karena kerusakan fungsi glomerulus (penyaring yang ada dalam ginjal).
Tingginya kadar gula dalam darah akan membuat struktur ginjal berubah
sehingga fungsinyapun ikut berubah (rusak), termasuk fungsi ginjal dalam
menyaring. Dalam keadaan normal protein tidak tersaring dan tidak
melewati glomerulus karena ukuran protein yang besar tidak dapat
melewati lubang-lubang glomerulus yang kecil. Dengan demikian adanya
protein dalam urin dapat menunjukkan pasien DM mengalami komplikasi
(gangguan) pada ginjalnya, dan pada awalnya ditunjukkan dengan
mikroalbuminuria.
Pemeriksaan
untuk mengetahui nefropati diabetik harus dimulai pada saat pasien DM
tipe 2 didiagnosis menderita DM, sedangkan untuk pasien DM tipe 1
disarankan pemeriksaan dimulai 5 tahun setelah didiagnosis DM. Dalam
pemeriksaan tersebut dilakukan pemeriksaan urin untuk mengetahui adanya
mikroalbuminuria (disebut mikroalbuminuria jika terdapat lebih dari
30-300 mg albumin dalam pemeriksaan pengumpulan urin 24 jam atau
terdapat lebih dari 30-300 mg albumin per gram kreatinin pada
pengumpulan urin semalam atau pengukuran rasio albumin-kreatinin pada
pengumpulan urin acak). Jika mikroalbuminuria tidak tampak
pemeriksaan diulang setiap satu tahun satu kali baik untuk pasien DM
tipe 1 maupun tipe 2. Bersamaan dengan atau sesaat setelah perkembangan
mikroalbuminuria, hipertensi sering terjadi. Hipertensi ini akan
memperburuk nefropati diabetik dan merupakan komponen penting dalam
perkembangan gagal ginjal.
Setelah
pemeriksaan menunjukkan adanya mikroalbuminuria sebaiknya segera
dilakukan pengobatan. Pengobatan nefropati diabetik dilakukan dengan
sasaran fungsi ginjal pasien, kadar gula darah, dan tekanan darah
(fungsi jantung). Adapun tujuan dari pengobatan nefropati diabetik
adalah untuk mencegah berkembangnya mikroalbuminuria menjadi
makroalbuminuria (albumin lebih dari atau sama dengan 300 mg dalam
pemeriksaan urin), menghambat penurunan fungsi ginjal pada pasien DM
dengan makroalbuminuria, dan menurunkan kejadian penyakit
kardiovaskular. Semakin cepat mikroalbuminuria diketahui maka akan
semakin cepat pengobatan dilakukan. Semakin cepat pengobatan dilakukan
maka manfaat yang didapatkan akan semakin besar pula dan pasien dapat
terhindar dari gagal ginjal di mana fungsi ginjal sudah jauh menurun
atau bahkan tidak dapat berfungsi lagi.
Untuk
dapat mencapai tujuan tersebut maka diperlukan suatu strategi dalam
pengobatan nefropati diabetik. Untuk pasien dengan normoalbuminuria
(jumlah albumin dalam urin kurang dari 30 mg) pengobatan dilakukan
dengan pencegahan terjadinya nefropati diabetik. Pencegahan tersebut
dilakukan dengan kontrol kadar gula darah secara intensif, yang dapat
dilakukan dengan menggunakan obat antidiabetik secara teratur.
Penelitian klinik menunjukan bahwa dengan menggunakan obat secara
teratur (ditunjukan dengan level HbA1c kurang dari 7%) dihubungkan
dengan menurunnya resiko terkena nefropati diabetik pada pasien DM tipe 1
dan tipe 2. Selain itu kontrol tekanan darah secara intensif juga
dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskular dan terjadinya
komplikasi dari DM. Target tekanan darah untuk pasien DM adalah 130/80
mmHg.
Prinsip
pengobatan pada pasien dengan mikroalbuminuria dan makroalbuminuria
pada dasarnya sama dengan pencegahan penyakit nefropati diabetik,
meskipun pada kasus ini strategi yang digunakan lebih banyak dan lebih
intensif. Pada pasien dengan mikroalbuminuria dan makroalbuminuria
kontrol gula darah dilakukan dengan menggunakan insulin atau obat
antidiabetik oral sehingga level HbA1c kurang dari 7%. Kontrol kadar
gula darah ini akan menurunkan hiperfiltrasi (peningkatan laju
penyaringan glomerulus) dan menurunkan mikroalbuminuria pasien DM pada
tahap awal penyakit ini.
Selain
itu terapi antihipertensi juga dapat menurunkan mikroalbuminuria.
Peningkatan mikroalbuminuria berhubungan dengan peningkatan tekanan
darah dan kolesterol LDL. Dengan menggunakan antihipertensi maka
mikroalbuminuria dapat dikontrol. Bukti dari beberapa penelitian
mendukung peran spesifik obat antihipertensi golongan penghambat enzim
pengubah angiotensin dalam menurunkan tekanan intraglomerular (dalam
glomerulus) sebagai tambahan peran golongan obat tersebut dalam
menurunkan tekanan darah tinggi. Tekanan darah yang dituju untuk pasien
dengan mikroalbuminuria dan makroalbuminuria adalah kurang dari 130/80
mmHg atau 125/75 mmHg dengan peningkatan kreatinin serum dan
proteinuria lebih dari 1,0 g/24 jam.
Rekomendasi
strategi pengobatan untuk pasien dengan mikroalbuminuria dan
makroalbuminuria yaitu dengan pengobatan antihipertensi, meliputi
penghambat enzim pengubah angiotensin dan/atau antagonis reseptor
angiotensin II, dan diet rendah protein (0,6 – 0,8 g/kg berat badan tiap
hari). Tujuan yang ingin dicapai pada pasien dengan mikroalbuminuria
adalah penurunan atau pengurangan albuminuria atau kembali ke
normoalbuminuria. Sedangkan untuk pasien dengan makroalbuminuria
dilakukan untuk mencapai kadar protein dalam urin serendah mungkin atau
kurang dari 0,5 g/24 jam.
Pengobatan
dapat dilakukan dengan nonfarmakologi (tanpa obat). Cara ini dilakukan
dengan diet di mana terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua orang
yang menderita DM. Tujuan utamanya adalah mencapai keluaran metabolik
yang optimal dan sebagai pencegahan dan terapi untuk komplikasi.
Mengganti daging merah dengan daging ayam dalam diet akan menurunkan
ekskresi albumin dalam urin sebesar 46% dan menurunkan kolesterol total,
kolesterol LDL, dan apoliprotein B pada pasien DM tipe 2 dengan
mikroalbuminuria.
Pengobatan
dengan obat dapat dilakukan pada kontrol kadar gula darah dan kontrol
tekanan darah. Seperti yang telah dituliskan di atas, kontrol tekanan
darah dapat dilakukan dengan salah satunya penghambat enzim pengubah
angiotensin. Obat golongan ini bekerja dengan cara dengan cara
menghambat kerja enzim pengubah angiotensin sehingga perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II dapat diblok. Angiotensin II
merupakan vasokonstriktor kuat dan juga menstimulasi sekresi aldosteron.
Dengan “terhalangnya” pembentukan angiotensin II maka vasokonstriksi
(pengecilan pembuluh darah) tidak terjadi dan tekanan darah tetap (tidak
menjadi tinggi). Hal yang sama juga terjadi dalam pembuluh darah di
ginjal. Degradasi bradikinin juga diblok oleh penghambat enzim pengubah
angiotensin. Hal ini membuat pasien yang menggunakan obat ini akan
mengalami batuk kering persisten dan merupakan efek samping dari
penghambat enzim pengubah angiotensin.
Pada
pasien DM tipe 1 dan tipe 2 normotensif (tekanan darah normal) yang
memiliki mikroalbuminuria, penelitian menunjukkan bahwa pengobatan
dengan penghambat enzim pengubah angiotensin menurunkan laju
perkembangan mikroalbuminuria menuju insufisiensi ginjal. Selain itu,
mempertahankan kadar gula darah mendekati normal dengan pengobatan
secara intensif juga dapat menurunkan resiko nefropati diabetik secara
signifikan. Jika penyakit ginjal stadium akhir (gagal ginjal) sudah
terjadi, transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti yang lebih
ditawarkan daripada menggunakan penghambat enzim pengubah angiotensin.
Obat pilihan : antihipertensi golongan penghambat enzim pengubah angiotensin
1. Kaptopril
Nama generik : Kaptopril
Nama dagang di Indonesia : Capoten, Casipril, Dexacap, Farmoten, Metopril, Otoryl, Praten, Scantensin, Tensobon.
Indikasi : hipertensi, gagal jantung kongestif, setelah infark miokard, nefropati diabetik.
Kontraindikasi :
untuk pasien yang hipersensitif terhadap kaptopril atau komponen lain
dalam obat dalam komposisi obat; pasien yang memiliki riwayat angiodema
dikaitkan dengan pengobatan dengan penghambat enzim pengubah
angiotensin terdahulu; pasien dengan penyempitan arteri bilateral
ginjal; pasien yang sedang hamil trimester kedua atau ketiga.
Bentuk sediaan : tablet 12,5 mg, 25 mg, 50 mg.
Dosis dan aturan pakai :
untuk pengobatan nefropati diabetik digunakan dosis 25 mg, diminum 3
kali dalam sehari; jika diperlukan penurunan tekanan darah lebih lanjut,
antihipertensi lain dapat digunakan bersama kaptopril; pada gangguan
ginjal berat awalnya 12,5 mg, 2 kali sehari.
Efek samping
: hipotensi, batuk kering yang persisten, pusing, sakit kepala, letih,
mual, memperburuk fungsi ginjal (mungkin terjadi pada pasien dengan
penyempitan arteri bilateral ginjal), ruam kulit, reaksi hipersensitif,
gangguan tidur, gelisah, anemia, radang pankreas.
Resiko khusus :
pada pasien yang sedang hamil pada trimester pertama resiko penggunaan
obat ini adalah termasuk kategori C, di mana penelitian pada wanita
(manusia) belum tersedia. Pasien yang sedang hamil pada trimester kedua
dan ketiga termasuk dalam kategori D, di mana terdapat bukti positif
resiko pada janin manusia, tetapi obat dapat digunakan pada wanita hamil
walaupun beresiko yaitu pada kasus penyakit serius dan obat yang lebih
aman tidak dapat digunakan atau inefektif.
2. Enalapril
Nama generik : Enalapril
Nama dagang di Indonesia : Meipril, Renacardon, Tenace.
Indikasi : hipertensi ringan sampai berat, pengobatan CHF, disfungsi ventrikel kiri setelah miokard infark, nefropati diabetik.
Kontraindikasi :
untuk pasien yang hipersensitif terhadap enalapril atau enalaprilat;
pasien yang memiliki riwayat angiodema terkait dengan pengobatan dengan
penghambat enzim pengubah angiotensin terdahulu; pasien dengan
penyempitan arteri bilateral ginjal; pasien yang sedang hamil trimester
kedua atau ketiga.
Bentuk sediaan : tablet 2,5 mg, 5 mg, 10 mg, 20 mg.
Dosis dan aturan pakai :
awalnya 5 mg/hari. Penyesuaian dosis pada gangguan ginjal : klirens
kreatinin 30-80 ml/menit beri 5 mg/hari dititrasi sampai maksimum 40 mg;
klirens kreatinin kurang dari 30 ml/menit beri 2,5 mg/hari dititrasi
(ditingkatkan) sampai tekanan darah terkontrol.
Efek samping
: batuk kering yang persisten, pusing, sakit kepala, lelah, lesu,
mual, diare, ruam, hipotensi, memperburuk fungsi ginjal (mungkin
terjadi pada pasien dengan penyempitan arteri bilateral ginjal), ruam
kulit, reaksi hipersensitif.
Resiko khusus :
pada pasien yang sedang hamil pada trimester pertama resiko penggunaan
obat ini adalah termasuk kategori C, di mana penelitian pada wanita
(manusia) belum tersedia. Pasien yang sedang hamil pada trimester kedua
dan ketiga termasuk dalam kategori D, di mana terdapat bukti positif
resiko pada janin manusia, tetapi obat dapat digunakan pada wanita hamil
walaupun beresiko yaitu pada kasus penyakit serius dan obat yang lebih
aman tidak dapat digunakan atau inefektif.
Anonim, 2000, Infomatorium Obat Nasional Indonesia 2000, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.